KARYA SASTRA DAN CELAH PENGEMBANGAN MODERASI BERAGAMA
Berawal
dari membaca puluhan cerita pendek yang ditulis oleh murid-murid setingkat SMP/Mts.
dan SMA/MA beberapa waktu lalu, saya serius mengenang kembali teori-teori
sastra yang pernah saya lahap di bangku kuliah. Salah satu konsep dalam buku
teori sastra itu menjabarkan tentang fungsi karya sastra untuk mengubah dunia. Gagasan
dan cara kata-kata sastra itu dapat meluluhkan hati pembaca dan mengilhami budi
pekerti. Karya sastra berpotensi mengubah segala sesuatu dengan
kelemahlembutan, keindahan, kesantunan, penuh simpati dan empati. Karya sastra
dapat berupa puisi, drama, atau prosa. Cerita pendek yang selesai dibaca sekali
duduk memiliki kesempatan lebih besar untuk mengeksplorasi tema serius dengan
pendekatan estetika sastra.
Cerita berjudul Pelangi mengisahkan
seorang remaja muslimah bernama Aisyah yang rajin membantu ibunya berjualan
kue. Kue-kue itu dititipkan ke warung Koh Win. Saat berada di warung Koh Win ia
mendapati ibu Koh Win hendak ke gereja dan Koh Win tidak dapat mengantarnya.
Aisyah menawarkan diri untuk mengantarnya. Ibu Koh Win semula ragu-ragu dengan
tawaran tersebut tetapi Aisyah menunjukkan kesungguhannya mau menolong. Sesampai
di depan gereja Aisyah kebingungan antara mengantarkan sampai ke dalam gereja
atau bagaimana. Untung saja ada teman Aisyah satu kelas yang juga akan ke
gereja. Akhirnya Ia menitipkan Ibu Koh Win ke teman tersebut sedangkan ia
menunggu di luar. Setelah selesai kegiatannya Aisyah mengantar ibu Koh Win
pulang. Sebagai ucapan terima kasih Ibu Koh Win memberi Aisyah bungkusan berisi
kue-kue. Sesampai di rumah Aisyah agak takut bercerita pada ibunya. Namun
setelah diceritakan ibunya malah memuji perbuatan baik Aisyah.
Cerita di atas ditulis oleh murid
Mts. Cerita tersebut cukup menggambarkan aamanat yang ingin disampaikan bahwa
tolong-menolong dalam hubungan sesama manusia itu hal yang mulia tanpa
memandang agamanya. Cerita semacam itu menjadi pembelajaran yang baik semua
terutama bagi anak dan bagi remaja. Cerita dengan tema-tema nilai-nilai
universal dalam hubungan sesama manusia merupakan tema yang tepat dalam kaitan
untuk mengembangkan konsep moderasi beragama.
Cerita lain yang saya baca dan
ditulis oleh murid SMA, mengusung pembahasan yang lebih dalam. Cerita tersebut
berkisah tentang tokoh Nadia yang berusaha menyampaikan konsep bahwa toleransi
itu tidak boleh salah kaprah. Menurutnya, toleransi itu saling menghargai bukan
saling membolehkan apa-apa yang tidak boleh dalam agama tertentu demi
perwujudan sebuah toleransi. Dalam cerita ini, penulis, melalui tokoh nadia,
menggugat orang-orang yang sangat ramah pada orang yang berbeda agama tetapi
sangat keras pada saudara seimannya. Menggugat juga orang-orang yang sengaja
melanggar aturan agamanya demi sebuah toleransi. Di akhir cerita, tokoh Nadia
memberi gambaran bahwa toleransi itu pada hakikatnya membiarkan orang lain
mengerjakan kehidupan beragamanya tanpa ada gangguan. Demikian juga dengan
dirinya yang tidak mau diusik dalam beragama dan teguh mengikuti aturan
agamanya. Misalnya, Nadia konsisten tidak mengucapkan selamat hari raya pada
pemeluk agama lain karena agamanya melarang perbuatan itu. Di samping itu ia juga mengingatkan dirnya agar
tidak usah mencemooh pemeluk agama yang membolehkan makan daging hewan yang di
dalam agamanya diharamkan.
Dalam sebuah kerangka karya sastra,
konsep berat seperti moderasi beragama dapat dikemas dalam rangkaian kata-kata
yang menyejukkan. Peristiwa yang berjalan dalam cerita disusun dengan
pertimbangan nilai estetika. Mengenai kepiawaian sastra menyentuh kehalusan
rasa dan membekas dalam jiwa, pernah disampaikan oleh seorang wartawan senior
dan pemimpin sebuah surat kabar nasional. Wartawan tersebut, di depan kolega
dan anak buahnya mengatakan bahwa seharusnya wartawan memiliki cita rasa bahasa
sastrawan. Hal itu dikarenakan berita tanpa balutan bahasa sastra itu kering.
Pernyataan itu menguatkan konsep bahwa bahasa sastra dapat menyentuh bidang
lain dan mewarnainya. Bahasa sastra dalam karya sastra dapat dimanfaatkan untuk
menyampaikan konsep serius dengan estetika berbahasa seperti konsep moderasi
beragama.
Pada dunia pendidikan di sekolah/madrasah,
guru-guru memiliki peran penting dalam mengembangkan konsep moderasi beragama
dalam proses belajar mengajar. Bahkan saat ini ada upaya meningkatkan literasi
para siswa sekolah/madrasah dalam konteks sosial budaya, dengan memasukkan
ranah moderasi beragama sebagai pilar yang harus pahami. Pada proses belajar mengajar,
guru dapat mengembangkan materi-materi moderasi beragama, di antaranya komitmen
kebangsaan, toleransi, antikekerasan, serta akomodatif dan inklusif terhadap
kebudayaan lokal. Materi-materi ini dapat disisipkan dalam bentuk narasi atau
menjadi ide tersirat dalam karya sastra. Apakah materi ini menjadi ranah guru
sastra? Tentu tidak. Semua guru dengan mata pelajaran apa saja dapat
menyisipkan materi moderasi beragama secara kreatif dalam proses belajar
mengajarnya.
Guru dapat memperkaya bacaan atau
membaca karya sastra yang berkaitan dengan konsep berkomitmen kebangsaan. Tidak
sedikit karya sastra, khususnya cerita pendek yang ditulis berkaitan dengan
menumbuhkan kebanggaan terhadap identitas nasional. Materi lainnya seperti
menghargai dan menindaklanjuti perjuangan para pahlawan, mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan, atau materi
berpartisipasi aktif dalam mewujudkan integrasi nasional pun dapat kita punguti
dari sekian banyak cerita pendek karya sastrawan.
Materi berkaitan dengan sikap
akomodatif dan inklusif terhadap kebudayaan lokal juga tak kalah banyaknya kita
temukan dalam cerita pendek. Sikap akomodatif yang dimaksud adalah usaha-usaha
untuk mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia sambil
berupaya menyempurnakan diri dengan mengadopsi ide-ide baru yang positif. Yang
tidak kalah penting adalah sikap inklusif dan apresiatif terhadap amaliyah
keagamaan yang berbeda. Materi-materi ini merupakan sumber inspirasi moderasi
beragama dalam karya sastra cerita pendek yang sudah dihasilkan oleh sastrawan.
Kita, termasuk guru, dapat membacanya sebagai bahan belajar mengajar, di mana
pun berada.